Skip to content

Mengurangi Pasokan Listrik Mal, Pabrik, dan Rumah Mewah: Solusi Populis Tetapi Boros

November 15, 2009

Menghadapi persoalan pemadaman listrik belakangan ini, PLN kembali memakai formula lthumbama: “PLN Minta Mal dan Pabrik Gunakan Genset“. Bahkan Rumah Mewah Akan Dipasangi Alat untuk Batasi Penggunaan Listrik. Dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Mustafa Abubakar mengatakan, kementerian BUMN akan menjamin pasokan BBM untuk genset. Ini tidak beda dengan tahun lalu. Waktu itu PLN malah mengancam mal yang tak menyediakan genset aliran listriknya akan dipadamkan.

Memakai genset jelas memberatkan pengusaha pabrik dan mal. Konon (dari Media Indonesia) biaya membangkitkan listrik memakai Genset mencapai Rp. 1900 per kWH. Padahal kalau membeli dari PLN hanya Rp. 400 s/d Rp. 900 per kWH. Bukan hanya itu. Pemakaian Genset oleh mal dan pabrik meningkatkan konsumsi bahan bakar diesel yang mahal. Terlebih jika diingat bahwa kita sudah jadi net importer BBM. Bandingkan dengan listrik dipoduksi PLN yang diperoleh dari sumber energi yang lebih murah (batu bara dan gas). Bahkan sebagian pembangkit PLN memakai sumber energi non fossil yang terbarukan (renewable) semacam tenaga air dan panas bumi. Lagi pula listrik PLN diproduksi oleh pembangkit dengan kapasitas yang jauh lebih besar dari genset-genset di mal dan pabrik, sehingga skala ekonomi listrik PLN jauh lebih baik dari listrik dari genset.

Dengan mengurangi pasokan listrik ke mal, pabrik, dan rumah mewah, PLN dan pemerintah berharap listrik yang jumlahnya pas-pas-an ini dapat dinikmati oleh semua pelanggan, alias tidak ada pemadaman. Sekilas tampaknya tujuannya sangat baik, namun perlu diingat, tarif listrik yang berlaku di negara kita menerapkan subsidi silang antar pelanggan PLN. Tarif listrik untuk mal, pabrik, dan rumah mewah lebih tinggi dari tarif untuk rumah sederhana. Mengurangi pasokan listrik ke mal, pabrik, dan rumah mewah akan sangat mengurangi pendapatan PLN. Pendapatan PLN sendiri konon sudah tidak dapat menutup biaya produksi, sehingga harus ditopang subsidi pemerintah. Untuk tahun 2009 ini saja, dibutuhkan subsidi listrik sebesar Rp 60,43 triliun. Bandingkan dengan Anggaran Pendidikan pada RAPBN 2010 yang hanya Rp. 51,8 triliun. Bahwa jika Bank Century tidak di bailout akan menimbulkan dampak sistemik yang membuat industri keuangan kita rontok masih jadi debat panjang antara Bank Indonesia dan para analis ekonomi. Tetapi tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa solusi populis yang ditawarkan PLN dan pemerintah ini akan menimbulkan dampak sistemik. Jadi, meminta Mal dan Pabrik menggunakan Genset secara nasional harus dipandang sebagai sebuah solusi hemat listrik yang boros energi dan tidak strategis.

Semestinya PLN dan pemerintah tidak perlu mengambil langkah populis ini. Krisis listrik, seharusnya jadi kesempatan untuk meningkatkan penjualan listrik ke mal, pabrik, dan rumah mewah. Bahkan perbedaan antara biaya listrik genset vs listrik PLN yang Rp. 1900 per kWH vs Rp. 400 s/d Rp. 900 per kWH bisa dijadikan bahan bagi PLN untuk bernegosiasi dengan pelanggannya untuk mengurangi defisit PLN sekaligus men”discourage” pelanggan untuk tidak boros.

Krisis listrik, seharusnya juga jadi kesempatan untuk mengedukasi masyarakat untuk menghargai energi (tidak semata hemat energi). Konon, rata-rata masyarakat kita masih tergolong boros energi. Menteri Negara BMUN, Mustafa Abubakar telah menghimbau agar menghemat, dan mengatakan penghematan agar dimulai dari instansi pemerintah dan pelaku usaha. Mengapa Menteri Negara BUMN yang menghimbau hemat listrik? Mengapa bukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral? Saya lebih senang jika Menteri Negara BMUN fokus pada hal-hal yang lebih strategis, misalnya bagaimana membuat BUMN-BUMN jadi lebih hebat dari TEMASEK. Dan saya tidak sependapat kalau penghematan harus dimulai dari pelaku usaha. Pelaku usaha umumnya adalah pemakai energi untuk tujuan produktif. Seharusnya yang dihimbau adalah pemakai energi untuk tujuan konsumtif. Pelanggan-pelanggan PLN dengan tarif listrik paling murah yang harus dihimbau menghemat pemakaian listrik.

Apakah tulisan ini terasa kejam? Apakah penulis berpihak pada kapitalis? Bukan! Semata hanya menempatkan skala prioritas yang logis dan wajar. Lalu, bagaimana kita melindungi masyarakat yang tidak mampu membeli listrik? Kalau kita mengenal ada program Beras Miskin (RASKIN), mengapa tidak ada program Listrik Miskin? Kalau untuk migas ada Bantuan Langsung Tunai, mengapa untuk listrik tidak ada Bantuan Langsung (atau tidak langsung) Tunai (atau tidak tunai)?

Baca juga tulisan terkait di blog lain:

Regionalisasi PLN (PLN jadi Perusahaan Daerah)

Orang Indonesia Boros Energi

(gambar dari www.tempointeraktif.com)

2 Comments leave one →
  1. March 17, 2010 11:15 am

    thanks for information.

Leave a comment