Skip to content

Andai Lintang, Ikal, Kucai, A Kiong dan Kawan-kawannya Bersekolah di Jakarta

October 20, 2008
Laskar Pelangi (dari Wikipedia)

Laskar Pelangi (dari Wikipedia)

Bagaimana seandainya Lintang, Ikal, Kucai, A Kiong dan kawan-kawan Laskar Pelanginya (Sahara, Mahar, Syahdan, Borek, Harun, Flo, Trapani) bukan bersekolah di pulau Belitong di tahun 70 an, tetapi di kota metropolitan Jakarta di masa sekarang? Jika sekolah di Jakarta, Ikal mungkin tidak perlu patah hati ditinggal A Ling. Lintang tidak akan sering terlambat karena dihalangi buaya yang melintang di jalan yang dilewatinya, tetapi mungkin saja Lintang tetap terlambat karena jalan macet. Tetapi…andai mereka sekolah Jakarta, saya khawatir mereka tak lagi mengagumi indahnya pelangi di pantai Bilitong, tetapi lebih suka nongkrong di Plangi (PLasa semANGgI) Free Smiley Face. Saya juga khawatir Bu Muslimah danPak Harfan tidak lagi dapat mencurahkan waktunya untuk murid-muridnya karena terpaksa harus sibuk mencari tambahan penghasilan untuk bisa bertahan hidup, atau malah terpaksa meninggalkan profesi pahlawan tanpa tanda jasa. Saya khawatir Lintang, Ikal, Kucai, A Kiong dan kawan-kawan Laskar Pelanginya akan behenti sekolah dan memilih mencari nafkah di jalanan.

laskar pelangi2

Anak-anak Pemeran Laskar Pelangi (dari web Laskar Pelangi)

Anak-anak Laskar Pelangi bersekolah di pulau Belitong. Dikisahkan bahwa mereka (kecuali Flo) adalah anak-anak dari keluarga miskin yang bersekolah di sebuah SD yang ruang kelasnya hampir roboh, dididik oleh Bu Muslimah dan Pak Harfan, guru-guru yang penuh pengabdian. Keterbatasan tidak membuat mereka putus asa, tetapi justru memacu mereka. Bahkan mereka bisa bersaing dengan murid SD PN (milik PN Timah) yang fasilitasnya jauh lebih lengkap. Demikian yang saya fahami dari film Laskar Pelangi yang saya tonton Sabtu kemarin. Saya tidak baca novelnya . Nonton filmnyapun juga lantaran diajak teman.

Anak Jalanan (dari metroTV)

Anak-anak Jalanan Jakarta (dari web Metro TV)

Anak-anak Laskar Pelangi beruntung punya orang-orang tua yang meskipun tidak kaya, namun menganggap penting pendidikan sekolah. Kita yang di Jakarta hampir setiap hari melihat anak-anak seusia Lintang, Kucai, A Kiong, Sahara, Mahar, Borek, dan kawan-kawannya mengamen di persimpangan jalan dan di kendaraan umum. Konon pendapatan mereka dari mengemis dan mengamen seharinya bisa mencapai Rp 20.000. Meskipun masih dipotong setoran ke orang tua atau inang/senior pelindung mereka di jalanan, jumlah itu menjadi opportunity cost yang cukup menggoda untuk membuat seorang anak keluarga miskin di Jakarta berhenti sekolah.

Bisa jadi kitalah yang membuat anak-anak itu betah berada di jalan. Dengan mengamen, mengemis, menyapukan kemoceng di atas dashboard mobil, atau menyodorkan amplop sumbangan – satu anak jalanan usia SD bisa memiliki penghasilan yang beda tipis dengan lulusan diploma. Begitu mudah bagi mereka. Tanpa perlu capek-capek sekolah, susah-susah melamar kerja, toh hasilnya hampir sama (dari http://eepinside.com/?p=189).

No comments yet

Leave a comment